Karisma Politik dan Kepemimpinan Transformasional ala LaRis

  • Bagikan

Ansori Barata

Karisma politik menjadi fenomena penting dalam kepemimpinan di era modern. Sebenarnya ini sejak dulu, sejak zaman Raja-raja. Kharisma seorang Raja bukan hanya bawaan turun temurun raja, tetapi juga dibentuk, disekolahkan dalam lingkungan Istana. Kepemimpinan bisa jadi produk genetik namun tidak sedikit yang dibentuk oleh lingkungan, sebagian ada yang percaya bahwa keluarga memiliki dampak yang luas bagi tumbuhnya sikap kepemimpinan.

Di tengah demokrasi yang menuntut keterbukaan dan kepercayaan publik, seorang pemimpin karismatik tidak hanya hadir sebagai simbol kekuatan, tempat bersandar yang kokoh, tetapi juga sebagai penggerak transformasi sosial dan politik. Dalam konteks ini, kepemimpinan pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Tanjung Jabung Timur, Laza dan Aris (Laris), layak mendapat sorotan. Kita memulai ini dengan pelan-pelan. Dari Laza, Putera Zulkifli Nurdin yang menjadi Gubernur sekira dua puluh tahun lalu.

Zumi Laza, Sekalipun Ia sering dibandingkan dengan Zola—tokoh yang memiliki popularitas luas—Laza menampilkan kharisma politik yang berbeda, lebih condong pada tipe kepemimpinan transformasional yang mampu merespons perubahan dengan memberdayakan tim serta masyarakat. Kecenderungan Laza bertipe ini sudah mulai terlihat ketika ia melakukan kampanye, ia begitu menghargai protokoler yang diberikan kepadanya. Sebagian timses Laza menyebut, Laza tidak mengambil keputusan yang bukan wilayah otoritasnya sekalipun ia bisa melakukannya.

*Kharisma Politik: Sebuah Analisis*

Kharisma dalam politik sering kali dikaitkan dengan daya tarik personal dan kemampuan seorang pemimpin untuk menggerakkan emosi publik. Max Weber (1), seorang sosiolog dan pemikir politik, mendefinisikan kharisma sebagai sifat luar biasa yang dianggap dimiliki oleh seseorang, yang membuatnya dipersepsi sebagai pemimpin yang mampu membawa perubahan radikal. Laza menunjukkan bentuk kharisma politik yang tidak hanya berorientasi pada popularitas, tetapi juga pada “gesture sosial” yang tulus dan menyentuh masyarakat.

Baca Juga :  Menggali Makna 'Salah Boleh, Bohong Jangan' di Balik Kecanduan

Jika Zola mengandalkan popularitas untuk membangun basis dukungan, Laza memancarkan kharisma yang lebih substantif melalui kecakapan orasi dan daya santun. Kharisma ini bisa menciptakan relasi yang lebih dalam dengan masyarakat, menggerakkan partisipasi tanpa harus menciptakan kultus pribadi yang sering kali rentan terhadap fluktuasi opini publik. Gaya kepemimpinannya bukan sekadar mengajak orang mendukung, tetapi memberi ruang bagi keterlibatan aktif masyarakat, sebuah karakteristik yang membedakannya dari politisi pada umumnya. Laza berbeda, Zola tidak sepenuhnya bisa memberikan pengaruh kepemimpinan pada Laza, namun apa yang didapat Laza sedikit banyak kita temukan pada Zola.

*Kepemimpinan Transformasional Laza: Menjawab Tuntutan Perubahan dengan Kebangkitan*

Kepemimpinan transformasional adalah pendekatan di mana pemimpin tidak hanya memimpin, tetapi juga menginspirasi pengikutnya untuk mencapai visi bersama melalui pengembangan kapasitas mereka.

Burns dan Bass (2(, dalam teorinya, menyebut kepemimpinan transformasional sebagai gaya yang membangkitkan rasa kebersamaan dan tujuan kolektif. Dalam konteks LaRis, sebagai dua dalam kesatuan, Laza mengimplementasikan gaya ini dengan memberdayakan wakilnya bereksplorasi dan memberikan ruang yang sama untuk berperan dalam kontestasi. Lihat bagaimana Laza menempatkan posisi Aris dalam debat dengan posisi bloking yang tidak menutupi, alih alih membuat Aris terkesan inferior, Laza malah selalu memberikan ruang bagi Aris untuk berkomunikasi menjelaskan pertanyaan, termasuk saat pemaparan, bahasa tubuh Laza yang sesekali menatap Aris merupakan pesan komunikatif yang serius dan “Tanda kebersamaan yang tidak menggurui”, yang bisa dipetik dari dari Laza. Sebagai type kepemimpinan partisipatif Laza menularkan ini pada LaRis, itulah sebabnya, mengapa LaRis, jika turun dalam kampanya terlihat sebagai satu kesatuan yang menguatkan. Ketidakhadiran salah satunya seperti kecanggungan politik bagi LaRis.

Baca Juga :  Jelang 1 Tahun Kepemimpinan Bupati Tanjab Barat, Ketum HMI Tanjabbar : Belum Ada Perubahan!!

Laza tidak memaksakan diri untuk menonjol dalam setiap tugas atau menutupi kinerja timnya; ia sepenuhnya memahami peran sebagai kandidat dengan mempercayakan timnya dalam menjalankan fungsi-fungsi tertentu. Dengan cara ini, Laza membangun sistem kolaboratif yang mendukung inovasi dari bawah ke atas, sebuah karakteristik esensial dalam kepemimpinan transformasional. Kemampuan ini kelak dalam menjabat akan membangkitkan potensi daerah yang beragam dan memberdayakan masyarakat untuk secara aktif mendukung pembangunan sesuai dengan nurani mereka.

*3. Pemberdayaan Tim dan Kepercayaan pada Masyarakat: Pilar Kepemimpinan Laza*

Salah satu prinsip penting dalam kepemimpinan transformasional adalah trust-building atau membangun kepercayaan, baik terhadap tim internal maupun masyarakat luas. Laza menampilkan sisi kepercayaan ini dengan cara yang unik. Ia tidak bekerja di luar kapasitasnya sebagai kandidat, tidak berupaya mengambil alih tugas timnya, dan sepenuhnya mengandalkan masyarakat untuk mendukung visi pembangunan Tanjung Jabung Timur berdasarkan pilihan nurani. Ia memberi pilihan bebas, memberikan ruang luas untuk tim nya dalam menerjemahkan visi misi tanpa intervensi aturan ketat tim sebagaimana laik terjadi. Dalam hal ini, Laza menawarkan kepemimpinan yang lebih humanis, tidak otoriter, dan terbuka.

Kepercayaan yang diberikan Laza terhadap masyarakat dan komunitas komunitas adalah bentuk nyata dari demokrasi partisipatif. Pendekatannya mengajak masyarakat untuk menjadi pemilik bersama dari masa depan daerah dalam Sanudemra Bangkit, membentuk ikatan yang tidak terputus oleh siklus elektoral. Ia mengajak pada politik santun, dan tidak bereaksi terlalu frontal dengan politik tekanan lawan. Kepemimpinan Laza membuka jalan bagi keterlibatan sosial, memungkinkan setiap elemen komunitas untuk merasa dihargai, didengarkan, dan diberdayakan.

Baca Juga :  Opini : Penganan

*Kesimpulan: Kepemimpinan yang Bisa Membangkitkan Potensi Daerah*

Dalam konteks ilmu politik, kepemimpinan Laza dapat dilihat sebagai model ideal dari pemimpin transformasional yang kharismatik. Bukan hanya kharisma yang menarik dukungan, tetapi kharisma yang memberdayakan masyarakat, menempatkan kepercayaan pada tim, dan membangkitkan potensi kolektif. Melalui pendekatan ini, Laza menunjukkan bahwa kepemimpinan tidak harus berpusat pada sosok individu yang kuat dan populer, melainkan pada visi bersama dan strategi pemberdayaan yang konsisten.

Dengan gesture sosial yang tulus, kecakapan orasi, daya santun, dan kemampuan membangun tim yang solid, Laza memberikan inspirasi bahwa kepemimpinan politik di era ini adalah tentang bagaimana melayani, mendengar, dan mempercayai. Kharisma politik Laza tidak hanya bersifat personal tetapi juga transformatif, menghidupkan semangat kolektif yang mampu menggerakkan perubahan nyata. Jika Zola memiliki popularitas, maka Laza memiliki kekuatan kepemimpinan yang terletak pada daya tarik yang lebih dalam—kemampuan untuk memotivasi dan membangkitkan potensi masyarakat secara menyeluruh. Jika pasangan ini terpilih sebagai pemenang, kita akan melihat bagaimana Laza dan LaRis mampu mempertahankan model kepemimpinan yang ia miliki ini, apa sebatas gestur kampanye, atau memang benar bahwa laza mampu menerjemahkan LaRis sebagai sesuatu yang layak dan realistis.

(1) Max Weber, Sosiologi, Pustaka Pelajar., Yogyakarta 2006

(2) Konsep kepemimpinan transformasional pertama kali dikenalkan oleh James W. Downton pada tahun 1973. Burns memperluas konsep tersebut pada tahun 1978. Burns mencatat bahwa hubungan antara pemimpin dan pengikut dapat mendorong satu sama lain untuk meningkatkan moral dan motivasi

*Bidsus 01*

Baca juga berita kami di:
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan