Lenterafaktual.com | Tanjab Barat – Kisruh yang terjadi di internal BPR Tanggo Rajo dalam beberapa bulan terakhir sampai hari ini masih menjadi buah bibir di kalangan masyarakat. Pasalnya polemik yang sangat menarik perhatian masyarakat ini bisa dibilang memasuki babak baru dengan adanya upaya banding yang ditempuh oleh pihak penggugat dan tergugat.
Dengan diterimanya sebagian gugatan mantan Direktur PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Tanggo Rajo Perseroda, Shinta Dewi Agustin dalam putusan Pengadilan Negeri Kuala Tungkal (30/6/22), ternyata tidak mengakhiri polemik. Upaya untuk tidak ingin dipersalahkan pun dilakukan, hal ini diketahui dengan langkah yang di ambil yaitu melakukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi Jambi.
Hal inipun disayangkan oleh Mahasiswi Universitas Terbuka Kuala Tungkal, Siti Aisah. Terkesan tidak terima dan tidak mau disalahkan oleh publik, Aisah menilai langkah yang di ambil oleh PEMDA justru menambah spekulasi miring dimasyarakat, ‘ingin mengembalikan nama baik justru menambah anggapan bahwa penguasa anti kritik.
Aisah menjelaskan, anti kritiknya PEMDA hari ini bisa dilihat dari beberapa tulisan di media online. Pro Kontra yang terjadi juga dinilainya sangatlah wajar, hanya saja bagaimana cara mengemas sebuah pemikiran itu harusnya, ‘jangan ada upaya memeberi batasan’ kepada pihak lain yang juga ingin memberikan pandangannya. Masyarakat yang ingin mengekspresikan pemikirannya juga memiliki hak yang sama di Republik Demokrasi ini.
Menanggapi pemberitaan pihak yang pro terhadap PEMDA Aisyah beranggapan itu wajar, tetapi juga bentuk ekspresi yang ditunjukkan sangat sayangkan. karena, sarat akan pembatasan ruang terhadap masyarakat yang ingin melihat kerja nyata pemimpinnya.
“Saya sangat menyayangkan apa yang disampaikan oleh Bendahara Umum Karang Taruna Tanjung Jabung Barat sebagaimana dikutip jambibreaks.com yang seolah-olah membatasi orang untuk berpendapat,” kata Aisah
Apalagi kata Aisah, didalam kalimat yang disampaikan Bendahara Karang Taruna itu sarat akan tendensi, “Belajar Hukum dululah baru bicara Hukum” dari yang disampaikan Bendum Karang Taruna ini semakin jelas menunjukkan bahwa kita ingin dibatasi untuk bicara soal Hukum.
“Apakah cuma orang hukum yang boleh bicara hukum?, bukankah didalam negara demokrsi kebebasan berbicara dan berpendapat itu dijamin oleh undang-undang,” ungkap Aisah kesal
Mahasiswi Ilmu Administrasi Negara, Universitas Terbuka ini juga mengatakan, disadari atau tidak kalimat yang disampaikan itu juga merupakan bentuk arogansi, yaitu melarang orang bicara Hukum dan seolah-olah yang diperbolehkan bicara soal Hukum hanya yang mengambil pendidikan dibidang Hukum.
“Mereka yang faham hukum dan mengerti hukum saja terbukti melakukan perbuatan melawan hukum sebagai mana putusan majelis hakim PN Tungkal kemrin,” pungkasnya.(red)