Oleh: Muhamad Bintang
Otonomi daerah di Indonesia dimulai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, memberikan lebih banyak tanggung jawab kepada pemerintah daerah. Perubahan ini bertujuan memberikan kekuatan kepada pemerintah daerah untuk mengembangkan wilayahnya dan meratakan pembangunan di seluruh daerah. Dalam konteks otonomi daerah, tantangan utama bagi pemerintah daerah adalah mengoptimalkan pendapatan, khususnya dengan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Peningkatan PAD dianggap strategis untuk mendukung keuangan pembangunan dan pelayanan publik di tingkat daerah.
PAD berasal dari wilayah otonomi dan meliputi pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba pengelolaan aset daerah yang dipisahkan, dan pendapatan lain yang diakui berdasarkan undang-undang. Kemampuan daerah menghasilkan PAD berpengaruh signifikan terhadap diskresi dalam pengelolaan keuangan, memungkinkan pemerintah daerah untuk menentukan alokasi dan penggunaan dana sesuai dengan aspirasi, kebutuhan, dan prioritas pembangunan daerah.
Retribusi daerah, sebagai bagian penting PAD, berperan sebagai sumber pembiayaan untuk mendukung pemerintahan daerah yang mandiri. Dalam Peraturan Walikota Kota Jambi Nomor 32 Tahun 2018, retribusi daerah didefinisikan sebagai kontribusi wajib yang harus dibayarkan oleh individu atau badan sesuai Undang-undang, tanpa imbalan langsung, dan digunakan untuk keperluan Daerah guna meningkatkan kemakmuran rakyat.
Perparkiran merupakan komponen integral dari subsistem lalu lintas angkutan jalan yang dikelola oleh pemerintah daerah. Penyelenggaraan perparkiran oleh pemerintah daerah bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam hal perparkiran, penataan lingkungan, pengaturan ketertiban, kelancaran arus lalu lintas, dan sekaligus sebagai kontributor PAD. Dalam konteks peningkatan PAD, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah, termasuk dalam hal pemungutan Pajak Parkir dan Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum.
Pendapatan dari parkir menjadi bagian dari PAD sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Sesuai dengan regulasi tersebut, Pemerintah Daerah (Pemda) Jambi memiliki hak untuk memperoleh PAD dari kegiatan parkir, selama mematuhi ketentuan yang tercantum dalam Peraturan Daerah (Perda) baik dari aspek objek pajak, subjek pajak, maupun tarif yang berlaku.
Salah satu faktor yang menyebabkan tidak tercapainya target PAD dapat diatributkan kepada kurangnya disiplin para juru parkir dalam mendistribusikan karcis retribusi kepada pengguna jasa parkir di sektor parkir. Bahkan, terdapat kasus di mana jukir, tanpa menyertakan karcis retribusi, terkadang menarik tarif parkir yang melebihi ketentuan yang berlaku.
Dilema serupa juga terjadi di TPR Pal 10 Kota Jambi. Keberadaan Dinas Perhubungan Kota Jambi, khususnya di TPR Pal 10 kecamatan Kota Baru, menjadi perhatian utama bagi para sopir angkutan batu bara. Pasalnya, retribusi di pos TPR diambil tanpa menyertakan karcis, seolah-olah menjadi pembayaran yang sah saat melintas. Tarif yang diterapkan bervariasi, tergantung pada seberapa besar uang yang diberikan, mulai dari Rp 3000 untuk truk batu bara hingga Rp 5000. Keadaan ini menimbulkan kecurigaan terkait ketidaktransparan penarikan retribusi, karena tidak ada bukti otentik yang menunjukkan besaran pungutan yang dikumpulkan dan apakah dana tersebut telah disetorkan ke kas daerah.
Pasal 119 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 menyatakan bahwa pengenaan retribusi parkir harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan daerah. Peraturan daerah tersebut wajib mencakup prosedur pembayaran retribusi parkir, termasuk penggunaan karcis parkir sebagai bukti pembayaran yang sah. Karcis parkir menjadi instrumen penting yang memastikan bahwa retribusi parkir telah disetor oleh pengguna parkir, dan dengan demikian, Pemerintah Daerah dapat memverifikasi pelunasan kewajiban tersebut.
Oleh karena itu, pungutan retribusi parkir tanpa karcis dianggap tidak sah, sebab tindakan tersebut tidak sejalan dengan ketentuan yang terdapat dalam peraturan daerah. Pemungutan retribusi parkir tanpa karcis dapat dikategorikan sebagai praktik yang tidak memiliki dasar hukum yang jelas, dan dapat dianggap sebagai pungutan liar.
Praktik pungutan retribusi parkir tanpa karcis berpotensi menimbulkan dampak negatif yang signifikan bagi masyarakat dan Pemerintah Daerah. Masyarakat dapat merugi karena terpaksa membayar retribusi parkir dengan tarif yang lebih tinggi daripada yang seharusnya, terutama karena petugas parkir yang tidak resmi cenderung menetapkan tarif di atas ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah. Pada gilirannya, Pemerintah Daerah menghadapi potensi kehilangan pendapatan dari retribusi parkir, sebab hanya masyarakat yang membayar retribusi sesuai dengan ketentuan yang dapat menyumbangkan pendapatan yang diharapkan. Kejadian ini menciptakan situasi dimana terdapat disparitas antara potensi pendapatan dan realisasi yang sebenarnya dari sektor retribusi parkir.
Dalam rangka menanggulangi permasalahan ini, Pemda Jambi diharapkan segera mengambil tindakan untuk menertibkan praktik pungutan retribusi parkir tanpa karcis. Mengingat bahwa tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai pungutan liar, maka perlu dilakukan penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku.
Sebagai langkah konkrit, pelaku pungutan retribusi parkir tanpa karcis dapat dikenakan pasal 368 dan 371 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 368 KUHAP mengatur tentang pemerasan, sementara pasal 371 KUHAP berkaitan dengan penggelapan. Ancaman hukuman masing-masing pasal adalah 4 tahun dan 9 tahun penjara.
Langkah-langkah hukum ini diharapkan dapat memberikan efek jera dan mendisinsentifkan praktik pungutan liar di sektor retribusi parkir. Selain itu, penertiban yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah perlu disertai dengan upaya meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan retribusi parkir, agar masyarakat dapat lebih percaya dan yakin terhadap proses pengumpulan dan penggunaan dana tersebut.
Penulis ialah Mahasiswa S1 Prodi Ilmu Hukum Universitas Jambi